Part 1: Mbah Urip

 

www.dailyapreal.com — Bulan April hingga Oktober merupakan jadwal terjadinya musim kemarau di Indonesia. Biasanya suasana di musim ini menjadi gerah yang disebabkan suhu udara yang panas disertai dengan kelembapan udara yang tinggi. Kelembapan udara yang tinggi menyatakan jumlah uap air yang terkandung pada udara. Semakin banyak uap air yang dikandung dalam udara, maka akan semakin lembap udara tersebut, dan apabila suhu meningkat akibat pemanasan matahari langsung karena berkurangnya tutupan awan, suasana akan lebih terasa gerah. Suhu saat siang hari bisa mencapai 32-35° C, namun untuk tempat tinggalku yang berada di pesisir pantai suhu udara bisa mencapai >36°C. Tak heran jika warna kulit mayoritas penduduk di sini berwarna coklat gelap, eksotis. 

Penduduk dusunku menggantungkan hidupnya pada potensi dan kondisi sumber daya pesisir dan lautan. Rutinitas harian penduduk adalah sebagai nelayan, pembudidaya ikan dan pedagang ikan. Hampir semua penduduk di sini memiliki keahlian dalam mencari ikan yang tak lain diperoleh secara turun-temurun dari nenek moyang mereka.

Terasa aneh di mata penduduk di sini jika ada yang tak bisa mencari ikan menggunakan tombak. Alat sederhana yang kerap menjadi mainan anak-anak di dusunku. 

Dari sisi taraf pendidikan penduduk di dusunku masih tergolong rendah. Kebanyakan hanya mengeyam pendidikan hingga bangku SD. Menurut mereka dengan pendidikan tinggi tak menjamin mereka untuk bisa menjadi nelayan handal. Memang sih cita-cita tertinggi penduduk di dusunku adalah menjadi nelayan handal. Dan mereka memiliki karakter kolot, keras, dan kental dengan adat leluhur. Way of life mereka sangat sukar dirubah. Meskipun menurut pandangan orang lain hidup mereka dalam kemiskinan, bagi mereka itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu. Mereka seperti hidup di dunia yang terpisah dengan dunia luar.

 ***

Menjelang hari kelahiranku menurut cerita ibuku, hari itu tak seperti biasanya dimana udara cukup terasa sejuk. Suasana itu terjadi selama 7 hari berturut-turut menjelang hari kelahiranku. Menurut mitos penduduk setempat jika terjadi fenomena alam yang tak biasa, bisa menjadi pertanda buruk bagi penduduk dusun. 

Merebaklah desas desus tentang kehamilan ibuku. Menurut penerawangan dukun beranak terpercaya di dusun, ada kejanggalan pada kehamilan ibu. Ya, penduduk sangat menyegani Mbah Urip, setiap perkataannya pasti akan dituruti sekalipun tak masuk akal. Usianya sudah lebih setengah abad namun perawakannya tak menunjukkan sisi tuanya. Ia hidup sebatang kara, konon suami dan anaknya meninggal saat perjalanan ke kota untuk menjual ikan. Ia tak sempat melihat jenazah suami dan anaknya karena fisiknya sudah tak bisa dikenali. Hangus terbakar bersama kendaraan yang ditumpangi. Kabarnya, beberapa penduduk dusun mengaku kerap melihat bayangan sosok lelaki sekelebat di sekitar balai dusun. Entah benar atau tidak namun cerita itu sudah melekat di benak penduduk.     

Pernah pula dusun kami dikunjungi beberapa bidan dari Dinas Kesehatan Pemda dengan membawa mobil ambulan, tujuannya untuk melakukan penyuluhan kepada penduduk tentang kesehatan ibu dan anak. Saat itu marak terjadi kematian ibu hamil dan bayi. Namun, setelah itu tak pernah lagi ada penyuluhan pasalnya hari itu di dalam ambulan ditemukan mayat seekor ayam yang disayat lehernya dan darah berceceran di dalamnya. Di samping mayat ayam itu ada secarik kertas bertuliskan ‘JANGAN PERNAH DATANGI DUSUN KAMI ATAU KALIAN AKAN MENYESAL!’. Tentu saja itu membuat ngeri dan trauma tersendiri bagi mereka yang pertama kali mendatangi dusun kami.

 ***

Sore itu Mbah Urip datang ke rumah setelah bapak memintanya untuk menengok kondisi ibu.

“Harusnya Kau sudah melahirkan 5 hari lalu. Permukaan perutmu sudah tidak rata dan condong ke bawah, artinya si jabang bayi sudah berada tepat di pintu keluar jalan lahirnya,” ucap Mbah Urip seraya meraba permukaan perut Ibu. Sesekali Ibu merintih kesakitan, mungkin si jabang bayi sedang mencari jalan keluarnya. 

Raut muka Bapak tampak cemas mendengar penjelasan Mbah Urip. Maklum ini adalah kehamilan pertama bagi Ibu. “Tapi, tak berbahaya buat istriku kan Mbah? Atau dibawa saja ke tempat Pram biar bisa di cek oleh Astri,” usul Bapak ragu setengah takut menyampaikan kepada Mbah Urip. 

“Lancang Kau Pras!” pekik Mbah Urip. “Kau tak percaya padaku? Apa Kau mau kejadian tahun lalu terulang lagi di dusun kita, hah!” kembali Mbah Urip berseru. 

“Bukan, Mbah. Bukan itu maksudku,” sesal Bapak. 

“Sudahlah kita tunggu 2 hari lagi, jabang bayimu pasti mau keluar.” Kata Mbah Urip seraya meninggalkan kami.      

 

(bersambung….)

 

#odop #day36 #cerbung #part1

Komentar