Part 2: Kematian Di Dalam Ambulan

 

www.dailyapreal.com — Mengikuti saran Mbah Urip 2 hari lalu, bapak mengurungkan niat untuk membawa ibu ke rumah Paman Pram, adik lelaki bapak yang memilih kabur dari dusun 20 tahun silam. Sesuai prediksi Mbah Urip, ibu mulai merasakan kencang di bagian perut. Awalnya ibu masih sanggup menahan sambil mengerjakan pekerjaan rumah, sesekali berhenti sejenak untuk menenangkan diri. Mempraktikan ilmu yang diajarkan Bibi Astri, istri Paman Pram, beliau memang lulusan sekolah kebidanan dan saat ini dinas sebagai bidan di salah satu rumah sakit di kota. Tarik napas dalam-dalam, lalu hembuskan. Begitu berulang kali yang ibu lakukan untuk mengurangi rasa mulasnya.

Tak lama, ibu mulai mengerang kesakitan sembari terduduk diatas lantai kayu. Saat itu jam dinding menunjukkan pukul 10 malam. Suasana dusun pun sangat sunyi, tak terdengar suara penduduk hanya ada suara jangkrik yang saling menyahut. Udara malam menyusup ke dalam rumah panggung yang berbahan kayu menambah hawa sejuk. Ruang tengah itu menyaksikan perjuangan seorang perempuan unuk menjadi ibu. Sementara bapak yang biasanya bersiap melaut untuk mencari ikan bersama kawan-kawannya, kini tampak siaga di rumah untuk menanti kelahiran si jabang bayi.   

“Pak, Mbah Urip sudah Kau beri kabar?” tanya Ibu sembari menahan rasa mulas di perutku. “Aku tak kuat dengan rasa mulas ini, coba telp Astri dan Pram, tanyakan apa yang harus Ku lakukan.” 

“Apa Kau ingin Mbah Urip murka pada Ku?” 

“Apa Kau juga ingin anak dan istrimu mati!” balas Ibu kesal. 

Bapak kembali dihinggapi rasa bimbang dan khawatir mengingat reaksi Mbah Urip 2 hari lalu. Namun, Ia juga tak tega melihat kondisi istrinya. Ia pun mengambil ponsel berwarna hitam di atas meja sudut tepat di samping ibu. 

Tutt…..tutt…..tutt….Orang di ujung sana tak juga menjawab panggilan bapak. Bapak pun mencobanya lagi. Tutt…tutt…tutt…. Tak juga ada jawaban.

“Apa ada jawaban, Pak?” tanya Ibu. 

“Belum.” Jawab Bapak seraya meletakkan lagi ponselnya lalu menghampiri Ibu. “Apa masih sakit?” tanya Bapak sambil mengelus perut Ibu. 

“Tak pernah Ku rasakan rasa sakit seperti ini, bagaimana jika Aku tak sanggup menahannya, Pak? Apa Aku akan mati seperti Bik Larsih?”

“Hush! Jangan sembarangan bicara. Itu salah Si Parjo yang membawa istrinya ke bidan dusun sebelah, kalau Ia menuruti perkataan Mbah Urip, istri dan bayinya mungkin masih hidup” sergah Bapak. 

***

Larsih dulunya penduduk dusun ini, namun Ia meninggal tahun lalu ketika proses melahirkan, naasnya bayinya pun ikut meninggal dalam kandungan. Selama hamil Ia tak pernah memeriksakannya pada bidan, namun setelah mendapat penyuluhan dari bidan dan dinas kesehatan Ia dan beberapa penduduk menampakkan ketertarikan pada bidan. Suatu ketika secara sembunyi-sembunyi Ia dan suaminya pergi ke dusun sebelah. Saat tiba di rumah bidan ternyata Ia sudah pembukaan 9 diikuti pendarahan yang mengalir di kakinya. Bidan pun kaget dan menyalahkan Parjo yang baru membawanya. Bidan tak tau bagaimana kondisi persis kehamilan Larsih karena selama ini Ia tak pernah memeriksakannya. Dengan kondisi Lastri yang seperti itu, sangat membahayakan jika tak di rujuk ke rumah sakit.    

Bidan pun menelpon ambulan rumah sakit di kota dan memintanya untuk menjemput Larsih di rumahnya. 15 menit berlalu, namun ambulan tak juga nampak. Perjalanan menuju rumah sakit jika ditempuh dari dusun sebelah menggunakan mobil dengan kecepatan sedang sekitar 15 menit. Lamat-lamat terlihat lampu mobil ambulan. Dengan sigap Larsih diangkat ke dalam ambulan. Selain Parjo, ada bidan yang turut serta. Ia pun dipasangi selang oksigen untuk membantu pernapasannya yang tersengal-sengal.

Di tengah perjalanan menuju rumah sakit itulah Larsih menghembuskan napas terakhirnya. Parjo tak henti-hentinya menyalahkan diri atas persitiwa itu. Sejak itu, Parjo menjadi lebih pendiam dan misterius.
 

(bersambung….)


 #odop #day37 #cerbung #part2

Komentar