Part 3: Namaku Banurasmi

 


www.dailyapreal.com — Malam itu tanggal 19 September, menjadi malam penuh suka sekaligus duka. 

Sosok yang ditunggu pun datang, getaran yang bersumber dari langkah cekatan menaiki anak tangga rumah panggung kami terasa hingga ke dalam rumah, dengan menjinjing tas berbahan pelepah daun kelapa Mbah Urip nampak siap melaksanakan tugasnya. Rasa lega terpancar dari raut muka ibu yang sedari tadi menahan mulas, bapak yang berada di sampingnya sesekali mengusap keringat yang membasahi kening ibu. 

“Pras, segera siapkan alas untuk melahirkan,” perintah Mbah Urip. Bapak pun sigap melaksanakan perintahnya lalu mulai menata alas yang dibagian bawahnya diberi kasur busa agar ibu tak merasakan sakit di bagian punggungnya. “Pras, bantu bopong istrimu.” 

Malam itu mungkin menjadi malam paling mencekam bagi bapak dan ibu, pasalnya ini adalah persalinan pertama bagi ibu. Meskipun selama hamil Bibi Astri selalu menanyakan kabar kehamilan ibu dan memberi informasi seputar kehamilan dan kelahiran, tetap saja ini adalah pengalaman baru. 

Jarum jam menunjukkan angka 11. Ibu kembali mengerang kesakitan. Mbah Urip kembali memeriksa jalan keluar bayi tanpa menggunakan alat bantu medis apapun.

 

“Sebentar lagi bayimu akan keluar, Pras. Ambilkan kain di dalam keranjangku!” perintahnya pada Bapak. Dengan cepat bapak mencari kain yang di maksud Mbah Urip lalu menyerahkan padanya. “Minah, gigit kain ini agar suara teriakanmu tak terdengar penduduk dusun,” ucapnya sembari menyumpal mulut ibu dengan buntalan kain putih. Ibu pun menurutinya. “Kalau perutmu terasa mulas, Kau mengejanlah sekuatmu seperti orang hendak buang hajat. Dan Kau Pras, duduklah di belakang istrimu, topanglah badannya sekuatmu,” ucapnya Mbah Urip. 

“Baik, Mbah.” Bapak mulai mengatur posisinya di belakang ibu, berusaha membantu ibu semampunya. 

“Mbah, perutku mulas sekali,” lirih ibu. 

“Ayo! Kau dorong bayimu sekuat tenagamu, Aku menangkap bayimu di bawah,” perintah Mbah Urip. Lalu ibu menarik napas dalam-dalam dan mengejan sekuatnya agar bayi keluar. Namun usaha ibu tak membuahkan hasil. Mbah Urip pun mengusap-usap perut ibu seraya mulutnya komat-kamit seperti membacakan sesuatu lalu meniupkannya di perut ibu. Mbah Urip menyuruh ibu untuk mengejan lagi. Jika dihitung ada 5 kali ibu mengejan kuat hingga akhirnya terdengar suara tangisan bayi. Rasa lega memenuhi ruangan tengah itu, ketika Mbah Urip melihat jenis kelamin bayi itu raut mukanya seketika berubah. 


“Celaka Kau, Pras. Benar dugaanku bayimu ternyata perempuan.” Kata Mbah Urip sambil memperlihatkan bayi perempuan kepada bapak. “Kau tau apa yang harus dilakukan pada bayi ini,” ucap Mbah Urip dengan nada setengah bergetar.


“Jangan Pak, kasihan bayi kita. Apa Kau tega melakukannya pada darah dagingmu sendiri!” isak tangis Ibu pecah.

“Minah! Apa Kau mau keluargamu celaka? Aku pun tak tega, tapi Kau tau sendiri akibatnya jika Kau tetap membiarkannya ada di dusun ini. Apa Kau lupa tradisi leluhurmu?” kata Mbah Urip mengingatkan Ibu. Ibu hanya bisa menangis lemas menahan rasa sakit, lelah dan rasa tak berdaya. Sementara itu Mbah Urip kembali sibuk menyelesaikan tugasnya.

Tutt….Tutt….Dering ponsel memecah keheningan. Bapak segera menjawab telpon yang ternyata berasal dari Paman Pram. Saat itu jarum jam tepat menunjukkan angka 12.

“Assalamu’alaikum,” sapa lelaki di ujung sana. 

“Ya, darimana saja Kau sejak tadi kuhubungi. Kakakmu sudah melahirkan dengan selamat,” kata Bapak menginformasikan. 

“Alhamdulillah, maaf Kak tadi Aku habis jaga malam keliling perumahan dan ponselku tak Kubawa. Siapa yang membantumu disana? Bayimu perempuan atau laki-laki?” tanya Paman Pram. Dari nada suaranya terlihat kebahagiaan. Hingga kini ia memang belum memiliki anak. Ia dan istrinya orang yang paling antusias saat mengetahui ibu hamil. 

“Celakanya perempuan,” jawab Bapak ketus. 


Paman Pram sudah bisa menebak mengapa reaksi Bapak seperti itu. “Dekatkan ponselmu ke telinga bayimu, Kak. Aku akan mengadzani telinga bayimu sebelah kanan dan mengiqamati telinganya sebelah kiri," perintah Paman Pram.
 
“Untuk apa? Agar Ia menjadi anak tak tau diri sepertimu!” bantah Bapak. 

“Sudahlah Kak, bukan waktunya berdebat. Kau pun tau ajaran agamamu ketika ada bayi lahir, bukankah Aki sering memberi tau kita.” bujuk Paman Pram. Bapak pun akhirnya menurutinya, meskipun di lubuk hatinya tengah bergejolak. Terlihat ibu tak kuasa menahan bulir air mata sambil menatap bayi merah dalam dekapannya. Maka, tunailah salah satu sunnah pada bayi yang baru lahir yang dilakukan oleh Paman Pram.

“Kau sudah memberi nama bayimu?” tanya Paman Pram. 

“Belum, Aku tak sempat memikirkan nama untuknya,” jawab Bapak. 

“Jika diijinkan, bolehkah Aku memberinya nama, Kak?” 

“Terserah Kau lah.” 

“Banurasmi. Ya, namanya Banurasmi. Nama yang indah bukan?” tanya Paman Pram. 

“Apa artinya?” 

“Surya. Anak perempuan yang bersinar laksana sang surya.” jawab Paman Pram penuh antusias. “Esok pagi Aku akan mengajak Astri ke dusun, Kau bantu Kak Minah pasti Dia sangat lelah setelah melahirkan. Assalamu’alaikum.” Paman Pram menutup percakapan. 

Akhirnya malam itu terlewati juga meskipun masih menyisakan kegamangan di hati Bapak tentang perkara bayi perempuannya yang baru diberi nama BANURASMI.

 

(bersambung….)

#odop #day38 #cerbung #part3

 

 

Komentar