Part 4: Kutukan Bayi Perempuan

 


www.dailyapreal.com — Jika kelahiran bayi lelaki disambut dengan penuh suka cita, maka berbeda halnya dengan kelahiran bayi perempuan yang seakan-akan menjadi sebuah aib keluarga. Ada anggapan di tengah penduduk dusun, jika bayi perempuan kelak tak bisa menjadi pewaris keluarga baik kedudukan, keahlian dan harta. Sehingga tak ada gunanya dan tak memberikan manfaat apapun bagi keluarga. Lebih baik tak memiliki anak daripada harus menanggung aib seumur hidup. Entah siapa mulanya yang menciptakan pandangan ini, nyatanya ia telah berhasil menyesatkan arah pandang penduduk puluhan bahkan mungkin ratusan tahun lamanya.  Tak terkecuali bapak, Prasetyo. 

***

Pagi hari Paman Pram dan Bi Astri tiba di rumah dengan membawa bingkisan berupa perlengkapan bayi. Terlihat dari kaca mobil yang bening, bingkisan itu diletakkan di bagasi mobil. Mobil hitam itu berhenti tepat di depan anak tangga menuju rumah panggung kami. Lalu Paman mulai mengeluarkan bingkisan dari bagasi, Ia nampak kerepotan membawanya, lalu Bi Astri hendak mengambil beberapa barang di tangan kanan Paman, namun di larang oleh Paman. Bi Astri membalasnya dengan senyum manisnya dan berlalu meninggalkan Paman.

 

“Assalamu’alaikum” sapa Bi Astri sembari mengetuk pintu rumah kayu. Tak terdengar jawaban dari dalam rumah. Sekali lagi Bi Astri mengetuk pintu, “Kak Minah, ini Astri dan Pram,” seru Bi Astri. Sementara itu, Paman Pram sudah berada tepat di belakang Bi Astri. “Mungkin Kak Minah masih tidur.” Bi Astri mencoba menerkanya.

 

“Kita tunggu saja, sudah lama tak Ku hirup udara pagi dusun ini. Hem… sungguh segar aroma laut ini” kata Paman Pram sembari melayangkan pandangan menyusuri area pekarangan rumah yang banyak ditumbuhi pohon kelapa, tumbuhan khas pesisir pantai. Ia pun terbawa pada kenangan masa kecil sebelum akhirnya kabur bersama emak tanpa membawa serta Pras.

 

“Pram, kapan Kau sampai? Kenapa tak langsung masuk saja, Kau pikir ini rumah siapa? Orang asing kah,” suara Bapak mengagetkan dari dalam rumah. Lamunan Pram pun ambyar seketika.

 

“Baru saja Kami tiba, Astri mengetuk pintu tapi tak ada yang menyahut jadi Kami tunggu disini saja. Tak sopan lah kalau main nyelonong, khawatir dikira maling,” gurau Paman Pram.   

 

“Halah…” jawab Bapak sambil terkekeh, “Ayo, masuk! Kak Minah pasti senang melihatmu, lagian repot amat Kau bawa-bawa barang ini macam orang mau dagang.”  

 

Mereka bertiga pun masuk ke dalam rumah. Ibu yang berbaring di atas dipan tampak sangat senang dengan kehadiran mereka berdua, seperti orang yang sudah lama tak berjumpa. Raut lelah dan mengantuk karena begadang habis melahirkan lenyap seketika. Mereka pun hanyut dalam euforia percakapan tentang si mungil Banurasmi. Sementara Bi Astri lebih memilih asyik menggendong Rasmi yang masih tertidur pulas. Ya, terlihat jelas kerinduan mendalam akan hadirnya sosok momongan dalam pernikahannya bersama Paman Pram.    

 

Paman Pram memulai percakapan tentang mitos lama di dusun. “Lantas apa rencanamu pada Rasmi, Kak?” tanya Paman Pram. “Bukankah, mitos di dusun tentang bayi perempuan masih melekat kuat”

 

“Apalagi kalau bukan memberikannya pada orang lain. Pokoknya Rasmi harus keluar dari dusun ini. Kau tau sendiri kan mitos yang merebak di dusun ini, apalagi posisiku disini adalah kepala dusun. Apa kata mereka jika Aku menyalahi adat leluhur,” jawab Bapak. Sebenarnya bapak tak tega kalau harus memisahkan Ibu dan Rasmi, namun sebagai pemangku adat Ia tak punya pilihan lain.    

***

(bersambung….)

 

#odop #day39 #cerbung #part4

Komentar