Part 7: Konspirasi Berkedok Mitos (Tamat)

 


www.dailyapreal.com — Suasana dusun mulai tidak aman. Beberapa penduduk dusun mengaku kehilangan hewan ternak, anehnya kendang tempat hewan ternak hilang selalu ditemukan bercak darah berceceran. Seolah hewan ternak itu di terkam hewan buas. Kejadian yang tak masuk akal pasalnya letak dusun tak berdekatan dengan rimba, lalu darimana datangnya hewan buas itu?

Terkaan lain dikaitkan dengan mitos-mitos yang berkembang sejak masa lalu. Makhluk gaib yang melakukan perjanjian dengan Pangeran Tanggul Angin murka karena persembahan untuk mereka tak layak. Beberapa penduduk dusun khususnya generasi mudanya mulai
meninggalkan ritual ini, mereka rasa percuma melakukannya toh tak mengubah kehidupan ekonomi khususnya. Ikan tangkapan mulai berkurang jumlahnya, cuaca sering tak mendukung melaut, dan masih banyak alasan lainnya.
 

Sebagai pemangku adat, kondisi ini tak bisa didiamkan karena penduduk terserang rasa takut dan was-was. Bapak mengajak penduduk berkumpul di balai dusun untuk mencari jalan keluar teror ini. Semua penduduk hadir kecuali Parjo yang tak kelihatan batang hidungnya. Dengan jumlah penduduk yang sedikit, yaitu hanya 26 kepala keluarga sangat mudah untuk mengetahui siapa yang tak hadir. 

“Situasi dusun sudah tak bisa dibiarkan saja, banyak hewan ternak yang hilang entah karena apa,” Bapak memulai topik perbincangan. “Apakah diantara kalian ada yang merasakan kejanggalan atau keanehan di dusun kita ini?” tanya Bapak kepada penduduk yang hadir. 

Penduduk mulai tengok kanan kiri saling menanyakan kepada penduduk lainnya. Seorang penduduk kemudian dengan lantang berkata, “Semalam aku mendengar seperti ada orang yang menyeret benda di sekitar kendang, saat itu aku hendak melaut, jadi tak kulihat dengan jelas siapa orang itu. Mungkinkah itu orang yang mengacaukan dusun kita?”

Suara gaduh memenuhi balai dusun.

 “Mungkin saja, tapi kita tak boleh sembarang menuduh. Bagaimana jika kita berkeliling dusun mulai malam ini untuk memastikan apa yang terjadi di dusun?” usul Bapak. 

“Ya, setuju.”  Jawab penduduk serentak. Penduduk pun mulai sibuk mengatur jadwal keliling dusun. Upaya pengamanan dusun pun dimulai, setiap malam penduduk bergantian mengamati kondisi dusun saat malam hari. Anehnya, sejak itu tak pernah lagi muncul kejadian seperti malam sebelumnya. Penduduk dusun bisa sedikit lega. 

***

Empat bulan berlalu tanpa ada keanehan yang terjadi di dusun. Memasuki bulan kelima kepergianku dan ibu ke rumah Paman Pram, terjadi petaka di dusun. 

Siang itu, sebuah mobil Mitsubishi Strada berwarna hitam dove berhenti di halaman rumah bapak. Kepulan debu beterbangan ketika mobil itu lewat. Beberapa penduduk yang sedang menjemur ikan melihat penuh rasa penasaran siapakah tamu bapak ini. Satu persatu orang di dalam mobil keluar. Ada empat orang, semuanya laki-laki dengan perawakan kekar, dua orang menggunakan pakaian kaos berwarna hitam dan celana cargo pendek motif doreng seperti seragam tantara, sementara dua orang lainnya menggunakan celana panjang dengan motif sama. Mereka menuju rumah bapak. 

Terdengar suara pintu di gedor dengan keras. 

“Pras, keluarlah! Tak inginkah Kau sambut tamumu ini?” teriak salah seorang dari mereka. 

Dengan tenang bapak membuka pintu dan menyambut tamu tak diundang itu. Betapa kagetnya bapak melihat salah seorang dari mereka, sosok yang dikenalnya karena pernah menjadi penduduk dusun. “Abdul! Kau masih hidup?” tanya Bapak seraya mengernyitkan dahi. “Bukankah saat itu Kau hilang tanpa jejak?” tanya Bapak heran. 

“Tak Kau persilakan masuk kah tamumu ini?” Kata Abdul seraya memasuki rumah Bapak diikuti ketiga kawannya. 

“Nampaknya kedatanganmu tak sekedar mengunjungi dusun, apa maksud kedatanganmu?” tembak Bapak dengan pertanyaan tanpa tedeng aling-aling khasnya.    

“Wowowow….santai, Pras. Kau tak berubah, masih saja tanpa basa-basi, pantas jika jabatan pemangku adat masih melekat padamu.” 

“Langsung saja pada inti permasalahannya dan segera pergi dari dusun, kedatanganmu sudah cukup menambah rasa tidak tenang di dusun ini,” kata Bapak sambil melihat para penduduk yang sudah berdiri di halaman rumah. 

“Okey. Kau masih ingat tentang tawaranku tempo hari? Ingat, Aku tak punya banyak waktu untuk menunggu. Penduduk dusun pasti akan menuruti perkataanmu. Kau tenang saja, kami pasti akan memberi imbalan yang sebanding jika kalian bersedia dengan tawaranku,” kata Abdul setengah mengancam. 

“Mau Kau datang ke dusun Kami beratus kali pun, Aku tetap pada keputusanku. Tanah ini milik leluhur Kami. Kami tak berhak memberikannya kepada orang yang berniat buruk pada dusun. Sekarang cepat enyah dari dusun ini, sebelum Aku bertindak kasar padamu!” tegas Bapak tanpa rasa takut dan ragu. 

“Dasar keras kepala! Baiklah, kalau itu keputusan akhirmu. Nasib penduduk dusun ada ditanganmu, Pras. Jangan menyesal jika terjadi hal yang tak Kau inginkan. Ayo, pergi!” ajak Abdul kepada ketiga kawannya seraya meninggalkan Bapak. 

Bapak mengetahui dalang keonaran yang terjadi di dusun selama ini. Mulai dari mayat seekor ayam di ambulan. Kematian Larsih istri Parjo yang ternyata bukan karena proses kelahiran semata, namun ada andil Abdul dan komplotannya. Hingga kejadian yang baru-baru ini terjadi di dusun, hilangnya ternak penduduk. Ia lakukan agar penduduk tidak betah tinggal di dusun dan pergi. Ia kaitkan itu semua dengan mitos yang masyhur di Dusun Karang Kenek. Semua karena sumber gas alam di rumah Parjo. Pantas saja Parjo beberapa kali tak ikut kegiatan dusun, karena ia disekap oleh Abdul. Sungguh konspirasi yang terencana. 

Malam harinya, datang lagi segerombol orang dengan menaiki truk fuso membuat kerusuhan di dusun. Mereka memaksa penduduk untuk naik ke atas truk, namun penduduk bersikukuh mempertahankan tanah mereka. Baku hantam pun tak terelakkan lagi. Tak terkecuali bapak yang dengan sekuat tenaganya melindungi penduduk dusun. Namun, seseorang tiba-tiba menikam bapak dengan sebilah pisau. Karena situasi dusun amat gelap tak ada yang menyadari kejadian itu. Di tanah kelahirannyalah bapak tewas karena membela mempertahankan hak sebagai pemilik tanah dari tangan kotor pengusaha tak berhati nurani.

 *** 

Benar adanya bahwa harta, tahta dan cinta adalah godaan yang bisa membuat manusia tak lagi manusiawi. Meskipun sejatinya, harta, tahta dan cinta bisa mengantarkan manusia pada derajat yang mulia. Bergantung manusianya, akan menempatkannya di tangannya atau di hatinya.   

Tamat. 

#odop #day42 #cerbung #part7

 

Komentar