Saatnya Mendengar Kata Hati

Malam itu hatiku dilanda kegamangan. Tausiyah Ustadzah Ami terngiang-ngiang ditelingaku, “perempuan itu harus bisa jaga kemuliaan diri, Islam memberi aturan tentang ini, cara bergaul dengan lawan jenis, cara berpakaian, cara berhias. Islam tak mengajarkan untuk mengumbar hawa nafsu seperti melakukan pacaran sebelum nikah karena itu mendekati zina. Islam menganjurkan para pemuda berpuasa atau menikah jika siap.”

Saat ini aku dekat dengan seorang lelaki, usia kami terpaut 2 tahun, kakak kelas semasa SMA. Kami bertemu di bangku kuliah secara tak sengaja, ia menolongku mengurus administrasi saat daftar ulang. Sejak itu hubungan kami semakin dekat mungkin karena sudah saling kenal dan sedaerah. Sesekali ia mengajak keluar sekedar makan malam atau membeli buah tangan untuk dibawa pulang. Tak pernah ia nyatakan perasaan pun denganku namun dari cara ia menatapku, memperlakukanku dan hadiah yang ia berikan, aku tahu ia menaruh hati. Perlahan perasaan takut kehilangannya pun bersemi dan harapan untuk menjalin hubungan berstatus tertanam di hati.

Kak Ratih membuyarkan lamunanku, “dek, kok melamun sih?” sapa kak ratih mengagetkanku. Ia adalah teman satu kamar di kontrakan, sudah semester 7, selama ini Kak Ratih sering jadi tempatku berkeluh kesah. Tapi tentang kedekatanku dengan Dani tak pernah kuceritakan. “Iya, Kak. Lagi kangen ibu bapak di rumah,” dalihku sembari pura-pura membuka buku.

Tiba-tiba ada dorongan dalam diriku untuk bertanya, “Kak, kalo Islam melarang kita pacaran lantas gimana cara kita bisa tau karakter calon suami kita nanti?”

“Ya, ta’aruf lah dek. Ehm…ada yang siap ta’aruf nih rupanya?” selidik Kak Ratih sambil tersenyum jahil.

“Ah, engga kok Kak. Cuma penasaran aja kan kemarin Ustadzah Ami ngga sempat jelasin tentang ta’aruf,” elakku. “Ohya Kak, besok sabtu acara training di LDK mulai jam berapa ya?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.

“Jam 6 pagi panitia udah stand by di sekretariat dek, jangan lupa datang ya sekalian ajak teman sekelas anty juga ya biar bisa hijrah rame-rame,” jawab Kak Ratih seraya meninggalkanku. Aku hanya mengangguk tanda setuju.

Semenjak itu, diam-diam aku mulai membaca buku-buku tentang ta’aruf, fikih munakahat, dan pengasuhan islami. Bukan hal tabu mempelajari topik ini, toh sejatinya memang butuh persiapan ilmu untuk menuju pernikahan. Hanya saja aku malu kalau teman-teman tahu apa yang kubaca.

Tit…tit…tit…Handphoneku berbunyi tanda ada panggilan untukku. Kulihat di layar ada nama Kaka disana. Iya, sengaja tidak kutulis nama karena khawatir teman-teman tahu. Tak seperti biasanya, kali ini aku enggan untuk menjawab telp. Aku masih bimbang penuh tanya tentang kelanjutan hubungan ini. Aku ingin tahu kepastiannya. Aku paham betul ini dosa dan Allah bisa murka. Tapi aku tak mampu untuk mengakhirinya. Dihatiku terjadi pergolakan hebat. Handphoneku berdering lagi. Tit…tit…tit…. Kutarik napas dalam-dalam, lalu kuangkat telp itu.

“Assalamu’alaikum,” sapa Kak Dani merdu. Suara yang kurindukan beberapa hari ini.

“Wa’alaikumussalam, iya Kak maaf ya lama,” jawabku tak semangat. “Kak, Ayi boleh tanya sesuatu?” tanyaku.

“Bolehlah, emang mau tanya apa Dek, tumben nanya aja pake ijin, ada masalahkah?” selidiknya setengah mengejek.

“Selama ini Kaka anggap Ayi apa?” todongku.

“Ayi, itu dah seperti Alm. Dina, adik Kaka,” jawabnya.

 Lemas badanku. Remuk redam hatiku. Tak kuasa bulir air mata mengalir deras.  

#30dwc #day28 #dengar

 

       

Komentar