www.dailyapreal.com — Keluarga Datuk – kakek buyutku dari
jalur bapak – telah menjadi pemangku adat sejak masa leluhur dulu, Abah – kakekku
dari jalur bapak – merupakan generasi kesembilan, Bapakku adalah generasi kesepuluh, seharusnya
Paman Pram adalah generasi selanjutnya. Namun karena ia pergi dari dusun bersama
emak – nenek dari jalur bapak –, 20 tahun silam otomatis ia tak bisa
menjadi penerus. Alasan mengapa mereka pergi karena emak tidak betah hidup di
dusun yang harus mengikuti adat yang menurutnya tidak masuk akal dan berbeda
dengan keyakinannya. Emak memang bukan keturunan asli Dusun Karang Kenek. Dulu
emak berkunjung ke dusun sebelah bersama aki – kakek buyutku dari jalur ibu
–, entah bagaimana ceritanya ia terlalu
asik bermain dan tersesat sampai ke area kolam yang dulunya menjadi pemandian
Putre Koneng. Untunglah ada datuk dan Pras remaja yang hendak memperbaiki kapal.
Dan membawa emak kembali ke dusun sebelah. Saat itu usia bapak dan emak
sepantaran sekitar 15 tahun. Itulah kali pertama bapak dan emak berjumpa. Semenjak
itu, bapak dan emak kerap bertemu jika aki berkunjung ke dusun sebelah.
Selang 2 tahun, bapak dan emak pun
dinikahkan. Emak di boyong hidup di Dusun Karang Kenek. Awal kehidupan
pernikahan mereka baik-baik saja, penduduk dusun pun memperlakukan emak sebagaimana
penduduk asli dusun. Mungkin mereka sedikit sungkan dengan keluarga kami jika
hendak berbuat aneh-aneh, pasalnya datuk merupakan pemangku adat dan keahlian
melautnya sudah tersohor hingga dusun sebelah.
Setelah melahirkan Paman Pras, keinginan
emak untuk meninggalkan dusun semakin membuncah. Emak merasa apa yang ia yakini
jauh berbeda dengan keyakinan penduduk dusun yang mayoritas percaya hal-hal
berbau klenik. Sementara emak menganggap itu sebagai perbuatan syirik. Sudah
sering emak menyampaikan kejanggalan yang ia rasa di hatinya kepada abah, namun
tak diindahkan. Pernah pula emak mengutarakan keinginan untuk pulang dan tinggal
di rumah aki, namun di tolak mentah-mentah. Akhirnya emak hanya bisa bersabar
dan menahan keinginannya.
Entah mendapat keberanian darimana, emak
nekat pergi dari dusun dengan membawa serta Paman Pras yang saat itu berusia 5
tahun. Subuh itu, datuk, abah dan bapak masih belum pulang dari melaut. Emak
hanya meninggalkan secarik kertas untuk abah yang diletakkannya di atas meja
sudut di ruang tengah.
Assalamu’alaikum…
Abah, maafkan karena Aku harus pergi dari rumah.
Sungguh keputusan ini sangat berat untukku, namun Aku juga tak mampu menahannya.
Tak bisa kugadaikan keimananku dengan adat dusun yang penuh kesyirikan. Aku pun
sering menyampaikan kepada Abah tentang keluh kesahku ini, tapi Abah tak mau
mendengarkan dan mengerti.
Aku turut membawa Pras bersamaku. Tolong
Abah didik Pram menjadi lelaki yang kuat dan tangguh sepertimu. Aku tau Datuk
menaruh harapan tinggi pada Pras untuk menjadi penerusnya kelak. Jika Pras
rindu padaku, sampaikan Aku juga sangat merindukannya. Tapi jika Pras
menanyakan alasan kepergianku, sampaikan bahwa Aku harus merawat aki yang saat ini hidup sendiri.
Jika abah masih sudi menemuiku dan merubah
keputusan, Aku masih membuka hatiku. Temui Aku dan Pras di rumah Aki. Sampaikan
permohonan maafku kepada datuk.
Wassalamu’alaikum…
Kinanti
Amarah abah meledak setelah membaca pesan
dari emak, pun dengan datuk. Sungguh rasa kecewa telah ibu tancapkan di dalam
hatinya. Hingga emak meninggal, abah tak sekalipun menemui emak di rumah aki.
Sementara Pras, bapakku mengetahui cerita tentang emak dari aki yang sesekali
mengunjunginya setelah kematian datuk.
***
“Daripada orang lain yang merawat Rasmi,
lebih baik Aku dan Astri saja. Lagi pula kami juga belum memiliki anak,
InsyaAllah Rahmi akan kami didik dan rawat seperti anak kandung,”
usul Paman Pram.
Bapak nampak berpikir keras, sesekali
tangannya menopang kepala dan memijat-mijat pelan. Sementara ibu hanya bisa
pasrah dan menangis. “Baiklah, jika itu adalah keputusan yang terbaik untuk
Rasmi, bagaimana pendapatmu, Bu?” Bapak mengalihkan pandangannya kepada Ibu
yang berbaring di atas dipan.
“Baiklah, Pak. Jika itu untuk kebaikan dan
masa depan Rasmi. Tolong Kau jadikan ia seperti Emak yang teguh memegang
keyakinannya,” jawabnya diiringi isak tangis.
Tiba-tiba Bi Astri menyela pembicaraan. “Maaf
Kak, apa tak sebaiknya Kak Minah turut serta bersama Kami ke kota. Usia Rasmi masih
terlalu kecil untuk dipisahkan dari ibunya, terlebih lagi Rasmi masih
membutuhkan ASI Kak Minah. Paling tidak selama 6 bulan Kak Minah bisa menyusuinya
sembari Ku pantau pemulihan Kak Minah,” usul Bi Astri.
“Usulan bijaksana itu, Aku sependapat
dengan Astri. Mengapa Rasmi harus menjadi korban adat dusun, menyusu kepada Kak
Minah adalah hak Rasmi,” tambah Paman Pram.
“Baiklah.” Jawab
Bapak tanpa banyak penolakan.
Sore harinya, Kami berempat meninggalkan bapak.
Bagi ibu, meninggalkan bapak adalah keputusan yang berat namun ini pilihan
terbaik untuk saat ini. Tak ada yang menyangka sore itu adalah kali terakhir
Kami melihat bapak. Tepat saat usiaku 5 bulan, bapak meninggal karena terjadi
petaka di dusun.
(bersambung….)
Komentar
Posting Komentar