Part 6 : Pertemuan Terakhir Bersama Bapak

 



www.dailyapreal.com — Keluarga Datuk – kakek buyutku dari jalur bapak – telah menjadi pemangku adat sejak masa leluhur dulu, Abah – kakekku dari jalur bapak – merupakan generasi kesembilan,  Bapakku adalah generasi kesepuluh, seharusnya Paman Pram adalah generasi selanjutnya. Namun karena ia pergi dari dusun bersama emak – nenek dari jalur bapak –, 20 tahun silam otomatis ia tak bisa menjadi penerus. Alasan mengapa mereka pergi karena emak tidak betah hidup di dusun yang harus mengikuti adat yang menurutnya tidak masuk akal dan berbeda dengan keyakinannya. Emak memang bukan keturunan asli Dusun Karang Kenek. Dulu emak berkunjung ke dusun sebelah bersama aki – kakek buyutku dari jalur ibu  –, entah bagaimana ceritanya ia terlalu asik bermain dan tersesat sampai ke area kolam yang dulunya menjadi pemandian Putre Koneng. Untunglah ada datuk dan Pras remaja yang hendak memperbaiki kapal. Dan membawa emak kembali ke dusun sebelah. Saat itu usia bapak dan emak sepantaran sekitar 15 tahun. Itulah kali pertama bapak dan emak berjumpa. Semenjak itu, bapak dan emak kerap bertemu jika aki berkunjung ke dusun sebelah.

 

Selang 2 tahun, bapak dan emak pun dinikahkan. Emak di boyong hidup di Dusun Karang Kenek. Awal kehidupan pernikahan mereka baik-baik saja, penduduk dusun pun memperlakukan emak sebagaimana penduduk asli dusun. Mungkin mereka sedikit sungkan dengan keluarga kami jika hendak berbuat aneh-aneh, pasalnya datuk merupakan pemangku adat dan keahlian melautnya sudah tersohor hingga dusun sebelah.

 

Setelah melahirkan Paman Pras, keinginan emak untuk meninggalkan dusun semakin membuncah. Emak merasa apa yang ia yakini jauh berbeda dengan keyakinan penduduk dusun yang mayoritas percaya hal-hal berbau klenik. Sementara emak menganggap itu sebagai perbuatan syirik. Sudah sering emak menyampaikan kejanggalan yang ia rasa di hatinya kepada abah, namun tak diindahkan. Pernah pula emak mengutarakan keinginan untuk pulang dan tinggal di rumah aki, namun di tolak mentah-mentah. Akhirnya emak hanya bisa bersabar dan menahan keinginannya.

 

Entah mendapat keberanian darimana, emak nekat pergi dari dusun dengan membawa serta Paman Pras yang saat itu berusia 5 tahun. Subuh itu, datuk, abah dan bapak masih belum pulang dari melaut. Emak hanya meninggalkan secarik kertas untuk abah yang diletakkannya di atas meja sudut di ruang tengah.

 

Assalamu’alaikum…  

Abah, maafkan karena Aku harus pergi dari rumah. Sungguh keputusan ini sangat berat untukku, namun Aku juga tak mampu menahannya. Tak bisa kugadaikan keimananku dengan adat dusun yang penuh kesyirikan. Aku pun sering menyampaikan kepada Abah tentang keluh kesahku ini, tapi Abah tak mau mendengarkan dan mengerti. 

Aku turut membawa Pras bersamaku. Tolong Abah didik Pram menjadi lelaki yang kuat dan tangguh sepertimu. Aku tau Datuk menaruh harapan tinggi pada Pras untuk menjadi penerusnya kelak. Jika Pras rindu padaku, sampaikan Aku juga sangat merindukannya. Tapi jika Pras menanyakan alasan kepergianku, sampaikan bahwa Aku harus merawat  aki yang saat ini hidup sendiri. 

Jika abah masih sudi menemuiku dan merubah keputusan, Aku masih membuka hatiku. Temui Aku dan Pras di rumah Aki. Sampaikan permohonan maafku kepada datuk. 

Wassalamu’alaikum…

Kinanti

 

Amarah abah meledak setelah membaca pesan dari emak, pun dengan datuk. Sungguh rasa kecewa telah ibu tancapkan di dalam hatinya. Hingga emak meninggal, abah tak sekalipun menemui emak di rumah aki. Sementara Pras, bapakku mengetahui cerita tentang emak dari aki yang sesekali mengunjunginya setelah kematian datuk.     

 

***

“Daripada orang lain yang merawat Rasmi, lebih baik Aku dan Astri saja. Lagi pula kami juga belum memiliki anak, InsyaAllah Rahmi akan kami didik dan rawat seperti anak kandung,” usul Paman Pram.

 

Bapak nampak berpikir keras, sesekali tangannya menopang kepala dan memijat-mijat pelan. Sementara ibu hanya bisa pasrah dan menangis. “Baiklah, jika itu adalah keputusan yang terbaik untuk Rasmi, bagaimana pendapatmu, Bu?” Bapak mengalihkan pandangannya kepada Ibu yang berbaring di atas dipan.

 

“Baiklah, Pak. Jika itu untuk kebaikan dan masa depan Rasmi. Tolong Kau jadikan ia seperti Emak yang teguh memegang keyakinannya,” jawabnya diiringi isak tangis.  

 

Tiba-tiba Bi Astri menyela pembicaraan. “Maaf Kak, apa tak sebaiknya Kak Minah turut serta bersama Kami ke kota. Usia Rasmi masih terlalu kecil untuk dipisahkan dari ibunya, terlebih lagi Rasmi masih membutuhkan ASI Kak Minah. Paling tidak selama 6 bulan Kak Minah bisa menyusuinya sembari Ku pantau pemulihan Kak Minah,” usul Bi Astri.

 

“Usulan bijaksana itu, Aku sependapat dengan Astri. Mengapa Rasmi harus menjadi korban adat dusun, menyusu kepada Kak Minah adalah hak Rasmi,” tambah Paman Pram.

 

“Baiklah.” Jawab Bapak tanpa banyak penolakan.

 

Sore harinya, Kami berempat meninggalkan bapak. Bagi ibu, meninggalkan bapak adalah keputusan yang berat namun ini pilihan terbaik untuk saat ini. Tak ada yang menyangka sore itu adalah kali terakhir Kami melihat bapak. Tepat saat usiaku 5 bulan, bapak meninggal karena terjadi petaka di dusun.

 

(bersambung….)

 #odop #day41 #cerbung #part6

 

Komentar